Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengatasi Rasa Sakit dalam Diri ala Marcus Aurelius (Stoikisme)

mengatasi rasa sakit ala stoikisme

Marcus Aurelius yang terkenal dengan filsafat stoikisme menerangkan mengenai cara menghadapi rasa sakit. Ada kutipan darinya yang bisa kita pahami dan menjadikan pembelajaran.

Menurut Marcus, “Saat engkau tersiksa oleh sesuatu dari luar dirimu, rasa sakit itu sebenarnya bukan dari sesuatu yang menyakitimu. Namun dari anggapanmu terhadapnya. Dan engkau memiliki kekuatan untuk mencabutnya kapanpun kau mau.”

Kita ini hidup berdampingan dengan orang lain. Masing-masing orang memiliki pendapat dan penilaian berbeda tentang suatu hal. Termasuk dalam menilai diri kita. Ada yang menilai kalau kamu orangnya jelek.

Kalau kamu merasa tersakiti oleh ungkapan orang tersebut, itu salah kamu sendiri. Bukan salah orang tersebut. Karena kamu sendiri yang membuat dirimu merasa sakit. Padahal sebenarnya kamu bisa mengontrol untuk tidak sakit hati. Tapi kamu malah memilih sakit hati.

Kita tidak dapat mengendalikan persepsi orang lain terhadap diri kita. Yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan diri kita supaya tidak sakit dengan persepsi orang lain. Tolaklah rasa sakit yang datang kepadamu. Dengan begitu tidak akan ada lagi orang yang bisa menyakitimu.

Marcus menambahkan, “Raih kembali kesadaranmu, panggil kembali dirimu, dan bangunlah sekali lagi. Kini akan kau sadari bahwa yang mengganggumu hanyalah mimpi. Pandanglah kenyataan ini sebagaimana engkau memahami mimpimu.”

Apa yang membuat sakit hati? Apakah kamu yakin bahwa itu semua nyata? Atau hanya ilusi pikiranmu? Tanyakan pada dirimu sendiri.

Misalnya di sekolah mendapatkan nilai jelek, terimalah nilai jelek tersebut. Karena memang itu faktanya. Kalau memang harus remidi untuk memperbaiki nilai tersebut, ya lakukanlah tanpa merasa sakit. Itu sebenarnya bisa kamu lakukan. Tapi kamu malah memilih sakit hati karena nilai jelek itu.

Rasa sakit hati atau ketersinggungan itu diambil, bukan diberi. Jadi, kalau kamu merasa sakit hati itu karena memang kamu memilih sakit hati tersebut. Padahal kamu bisa mengatur untuk memilih tidak sakit. Walaupun ada orang yang menyinyirimu, kalau kamu tidak memilih sakit hati atas perkataan orang tersebut, ya kamu tidak akan sakit hati.

“Tak seorangpun dapat kalah, baik di masa lalu ataupun di masa depan. Bagaimana orang bisa kehilangan apa yang dia tidak miliki?”

Ada dua hal yang membuat kita sakit hati yaitu harapan dan kekecewaan. Padahal kedua hal tersebut tidak dapat kita pegang. Kecewa itu karena masalalu, sedangkan harapa itu karena masa depan. Masa lalu itu sudah lewat dan masa depan itu belum terjadinya. Lalu kenapa kamu merasa sakit dengan 2 tersebut? Harusnya kamu tidak boleh sakit atau kalah dengan hal tersebut.

Jangan sampai kamu dikalahkan oleh kekecewaan dan harapan. Karena sesungguhnya kedua hal tersebut tidak ada. Kamu tidak dapat memegangnya.

Janganlah mengeluh dan menganggap semua itu sebagai nasib buruk. Tetaplah berpikir positif dan menerima itu sebuah. Katakan pada diri, “meskipun ini terjadi padaku, tapi aku dapat menanggungnya tanpa rasa sakit, baik itu kehancuran dimasa kini maupun ketakutan akan masa depan”.

Bersyukurlah karena kamu masih bisa menghadapi itu semua. Ibaratnya seperti kamu diinjak-injak pun kamu tidak merasa sakit. Karena kamu kuat dengan itu semua. Itulah mindset yang harus kamu miliki.

Kita tidak bisa mengharapkan hidup yang tidak ada masalah. Hidup di dunia sudah pasti banyak masalahnya. Dan masalah tersebut yang terkadang membuat sakit hati. Jadi, tergantung bagaiamana cara kita menyikapinya. Apakah kita memilih untuk sakit atau tidak. Mungkin awal-awal sulit untuk melakukan itu semua. Tapi kalau dilatih pastinya bisa untuk tidak mengambil rasa sakit hati.

Kalau semua orang bisa seperti itu, pastinya UU ITE tidak perlu ada. Kita tidak akan mendengar lagi orang yang tersinggung di media sosial. Bahkan hingga dibawah ke meja hijau. Hidup kita juga akan tenang. Tidak terganggu dengan persepsi orang lain. Orang lain bebas menilai diri kita. Begitupun kita juga bebas untuk menyikapinya seperti apa.



Sumber: Dr. Fahruddin Faiz